Ujian Nasional, Pemerintah dan Sekolah - MA Plus Nurul Huda

Ujian Nasional (Ilustrasi)
Dengan telah terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 tahun 2011, maka setiap peserta didik harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan di dalam Permendikbud  tersebut. Setiap tahunnya, hal ini masih mengandung pro dan kontra di masyarakat tentang standar kelulusan ini.

Pemerintah tetap berpandangan, bahwa perlunya suatu standar nasional tentang kelulusan peserta didik. Untuk tahun ajaran 2011/2012, kriteria kelulusan peserta didik  tertuang di dalam Permendikbud No. 59 Tahun 2011 Pasal 6 Ayat 3 yang berbunyi, "Peserta didik SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMALB, SMA/MA, SMALB, dan SMK dinyatakan lulus UN apabila nilai rata – rata dari semua NA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencapai paling rendah 5,5 (lima koma lima) dan setiap mata pelajaran paling rendah 4,0 (empat  koma  nol). Dan Pemerintah tetap mempertimbangkan aspek penilaian dari sekolah dengan pembobotan 40% untuk nilai Sekolah/Madrasah dari mata pelajaran yang diujinasionalkan, dan 60% untuk nilai UN."

Pelaksanaan Ujian Nasional tingkat SMA, SMALB, MA, SMK, untuk tahun ajaran 2011/2012 ini, Pemerintah merencanakan akan dilaksanakan secara serentak pada tanggal 16 April 2012. Sementara, untuk Ujian Nasional tingkat SMP, MTs, dan SMPLB akan dilaksanakan oleh pemerintah secara serentak pada tanggal 23 April 2012 mendatang.

Mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional untuk tingkat SMA dan MA untuk jurusan IPA yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Fisika, Matematika, Kimia, dan Biologi. Sementara, untuk jurusan IPS yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ekonomi, Matematika, Sosiologi, dan Geografi. Untuk jurusan Bahasa yang diujikan yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Asing, Matematika, Antropologi, dan Sastra Indonesia.

Bila di MA, ada Program Keagamaan. Mata pelajaran yang diujikan terdiri dari Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Tafsir, Matematika, Fikih, dan Hadis.

Untuk tingkat SMALB, mata pelajaran yang diujikan yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Sementara, untuk satuan  pendidikan tingkat SMP, MTs, dan SMPLB mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan IPA.

Namun, terjadi reaksi yang beragam di masyarakat menanggapi hal ini. Ada yang yang berpendapat, pemerintah belum adil dalam pembagian porsi pembobotan karena masih dianggap mendominasi dengan porsi 60% untuk nilai UN. Ada juga yang berpendapat, bahwa tidak perlu adanya standar nasional tentang kriteria kelulusan peserta didik di setiap satuan pendidikan, tapi cukup diberikan surat tanda tamat belajar saja. Dan banyak lagi pendapat yang berkembang di masyarakat tentang Ujian Nasional (UN) ini.

Bukan  hal yang bijak juga jika Ujian Nasional ditiadakan. Sebab, UN merupakan salah satu alat ukur yang bisa digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pendidikan di negara kita. Selain itu, juga merupakan bentuk pertanggung jawaban sekolah terhadap pelaksanaan pendidikan di setiap tingkat satuan pendidikan.

Yang harus menjadi sorotan kita bersama terhadap UN ini, yaitu persoalan–persoalan yang mendasar, bukan persoalan ada atau tidaknya Ujian Nasional. Permasalahan yang harus menjadi fokus bersama yaitu masalah persepsi dan cara pandang yang benar dalam  menyikapi Ujian Nasional.

Pemerintah sebagai pengambil kebijakan
Pemerintah sebagai pengambil kebijakan, harus arif bijaksana serta memberikan rasa aman kepada para peserta didik, bahwa mereka bisa lulus Ujian Nasional. Hal ini bisa diwujudkan, dengan membuat semua sekolah di negeri ini menjadi layak pakai dan memenuhi standar sebagai sebuah sekolah.

Sangat tidak mungkin bila pemerintah mendapatkan hasil yang baik dalam Ujian Nasional, bila pemerintah sendiri belum memberikan kualitas pendidikan yang layak. Hal ini mulai dari sarana prasarana hingga pemerataan guru yang berkualitas.

Selama ini, selalu terjadi kesenjangan. Masih banyak sekolah yang belum bisa disebut sebagai sebuah sekolah. Ini dibuktikan dengan aneka temuan, bahwa banyak sekolah yang reot dan rusak, mulai dari lantai, dinding, atap maupun bahan bangunan yang digunakan semuanya berkualitas buruk.

Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebutkan, ada sekitar 161 ribu sekolah rusak. 45% dari gedung sekolah rusak tersebut mengalami rusak berat, dengan kemiringan lebih dari tujuh derajat dan mendekati 90 derajat, alias hampir rubuh. Sekolah–sekolah seperti ini, pada umumnya berada di daerah–daerah terpencil.

Selain itu, masalah lainnya yang masih kita hadapi yakni kesempatan memperoleh pendidikan atau akses. Kita belum sepenuhnya memberi kesempatan kepada semua warga negara untuk bisa mengikuti pendidikan.

Dari segi pendidikan dasar sembilan tahun yang menjadi pendidikan wajib, misalnya. Sampai sekarang, kita belum bisa menampung seluruh anak usia 12-15 tahun atau 13-16 tahun di SMP dan MTs.  Angka terakhir, kalau tidak salah, baru sekitar 94 persen. Artinya, masih ada yang belum bisa tertampung di tingkat SMP/MTs. Belum lagi di tingkat SMA/MA, lebih rendah lagi, apalagi di tingkat PT. Jadi, kita masih menghadapi permasalahan kronis yang berkaitan dengan akses (M. Ali).

Selain itu, masalah pemerataan guru–guru juga menjadi kendala. Rasio guru siswa kita sebenarnya sudah memadai, yaitu satu berbanding dua puluh (1:20). Tetapi, sebagian besar guru menumpuk di kota. Ada sekolah yang kelebihan jumlah gurunya dan ada sekolah yang hanya memiliki satu orang guru saja. Sebenarnya, masih banyak kendala–kendala lainnya yang tidak mungkin penulis uraikan disini.

Sudut pandang sekolah
Sudut pandang sekolah juga harus menjadi perhatian kita bersama, demi terciptanya Ujian Nasional yang berkualitas. Peranan sekolah sangat penting, karena sekolah merupakan unit pelaksana pembelajaran pada setiap satuan pendidikan.

Sayangnya, Ujian Nasional selalu menjadi ajang prestise semata. Sehingga, banyak kecurangan–kecurangan dilakukan. Tetapi, tidak semua sekolah melakukan itu. Terlalu naif juga bila kita menafikan, bahwa tidak ada kecurangan yang dilakukan dalam pelaksanaan Ujian Nasional.

Hal tersebut tidak boleh terjadi lagi untuk tahun ajaran 2011/2012 ini. Sekolah harus siap dan komitmen terhadap aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Bila kecurangan itu masih saja terjadi, maka hasil Ujian Nasional tidak bisa dijadikan sebagai alat ukur untuk mengukur pendidikan di indonesia. Pemerintah pun tidak bisa melakukan analisis yang mendalam terhadap kebijakan selanjutnya.

Hasil penelitian Prof. Asmawi Zainul, MED juga membuktikan, bahwa pola pendidikan yang dilakukan oleh sebagian besar sekolah di Indonesia kepada siswa kelas tiga, hanya memfokuskan kepada mata pelajaran yang di Ujian Nasional-kan saja. Di beberapa kasus ditemukan pihak sekolah menyewa pihak luar (seperti lembaga bimbel) untuk memberikan pelajaran  tentang materi Ujian Nasional. Kesalahan ini sangat fatal dan sangat keliru dari segi etika dan kebijakan.

Bila saja standar yang ditetapkan oleh sekolah sudah benar dan baik, maka nilai 5,5 bukan hal yang terlalu sulit untuk dicapai. Seharusnya, standar nilai di sekolah lebih tinggi dari standar nasional. Sebab, arti sesungguhnya dari standar tersebut adalah angka minimal yang harus dipenuhi, bukan maksimal.

Begitu rumit dan ruwetnya persoalan tentang Ujian Nasional ini, maka yang diperlukan adalah kerjasama. Ujian Nasional menentukan nasib anak bangsa. Oleh karena itu, UN harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin.



Sumber : http://www.republika.co.id/


Posting Komentar